Selasa, 01 Januari 2013

SOCIAL JUDGEMENT THEORY (TEORI PERTIMBANGAN SOSIAL)



Teori &Pengertian
Teori ini dikembangkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog dari Oklahoma University AS (Barker, 1987). Secara ringkas teori ini menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial dan isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan (judgement) yang terjadi dalam diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi.  Proses ”mempertimbangkan” isu atau objek sosial tersebut menurut Sherif berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang dimiliki seseorang. Kerangka rujukan inilah yang pada gilirannya menjadi ”jangkar” untuk menentukan bagaimana seseorang memposisikan suatu pesan persuasif yang diterimanya. Lebih jauh Sherif menegaskan bahwa tindakan memposisikan dan menyortir pesan yang dilakukan oleh alam bawah sadar kita terjadi sesaat setelah proses persepsi. Disini kita menimbang setiap gagasan baru yang menerpa kita dengan cara membandingkannya dengan sudut pandang kita saat itu.
Secara ringkas teori ini menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek sosial atau isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan yang terjadi dalam diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi. Proses mempertimbangkan isu atau objek sosial tersebut berpatokan pada kerangka rujukan yang dimiliki seseorang. Kerangka inilah yang menjadi rujukan bagaimana seseorang memposisikan dan menyortir pesan yang diterima dan membandingkannya dengan sudut pandang yang rasional.

Menurut Muzafer Sherif ada 3 rujukan yang digunakan dalam merespons suatu stimulus yang dihadapi, ketiganya merupakan suatu hal yang terkait :
1.    Latitude of acceptance yang terdiri dari pendapat yang masih dapat diterima dan ditoleransi
Proses pertimbangan di atas menurut Sherif & Hovland (1961) berlaku baik untuk pertimbangan fisik (misalnya; berat) maupun pengukuran sikap. Walaupun demikian ada dua perbedaan antara pertimbangan terhadap situasi fisik yang bersifat obyektif dengan sikap. Dalam sikap, individu sudah membawa klasifikasinya sendiri dalam menilai suatu obyek dan ini mempengaruhi penerimaan atau penolakan individu terhadap obyek tersebut. Kedua, pertimbangan sosial (sikap) berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lain, padahal dalam pertimbangan fisik tidak terdapat variasi yang terlalu besar. Perbedaan-perbedaan atau variasi antara individu ini mendorong timbulnya konsep-konsep tentang garis-garis lintang (latitude), Garis lintang penerimaan (latitude of acceptance) adalah rangkaian posisi sikap diterima atau ditolerir oleh individu. Garis lintang penolakan (latitude of rejection) adalah rangkaian posisi sikap yang tidak dapat diterima oleh individu. Garis lintang ketidakterlibatan (latitude of noncommitment) adalah posisi-posisi yang tidak termasuk dalam dua garis lintang yang pertama. Jadi individu tidak menerima, tetapi juta tidak menolak, acuh tak acuh. Interaksi antara garis-garis lintang inilah yang akan menentukan sikap individu terhadap pernyataan-pernyataan tertentu dalam situasi tertentu. Kalau pernyataan itu jatuh pada garis lintang penerimaan, maka individu akan setuku dengan pernyataan itu. Jika pernyataan itu jatuh ke garis lintang penolakan, individu tersebut akan tidak menyetujuinya


2.    Latitude of rejection yang mencakup gagasan yang ditolak karena tidak rasional
Jika seseorang individu melibatkan dirinya sendiri dalam situasi yang dinilainya sendiri, maka ia akan menjadikan dirinya sendiri sebagai patokan. Hanya hal-hal yang dekat dengan posisinya mau diterimanya. Makin terlibat individu itu, maka ambang penerimaannya makin tinggi dan makin sedikit hal-hal yang mau diterimanya. Asimilasi jadi makin kurang. Sebaliknya, ambang penolakan makin rendah, sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bisa diterimanya. Hal ini makin terasa jika individu diperbolehkan menggunakan patokan-patokannya sendiri seberapa banyak pun dia anggap perlu.

3.    Latitude of no commitment yang terdiri dari pendapat atau pesan persuasive yang tidak kita tolak dan tidak kita terima
Komunikasi, menurut Sherif & Hovland, bisa mendekatkan sikap individu dengan sikap-sikap orang lain, tetapi bisa juga malah makin menjauhkannya. Hal ini tergantung dari posisi awal individu tersebut terhadap posisi individu-individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi akan lebih memperjelas persamaan-persamaan antara mereka dan dekatnya posisi mereka sehinga terjadilah pendekatan-pendekatan. Tetapi sebaliknya, jika posisi awal sudah saling berjauhan, maka komunikasi malah akan mempertegas perbedaan dan posisi mereka akan saling menjauh. Dengan perkataan lain, jika seseorang terlibat dalam situasi isu, maka posisinya sendiri akan dijadikannya patokan. Terhadap sikap-sikap yang tidak jauh dari posisinya sendiri ia akan menilai ; cukup beralasan, dapat dimengerti dan sebagainya. Dan suatu komunikasi dapat menggeser posisinya mendekati posisi-posisi lain tersebut. Sebalinya, posisi-posisi yang jauh akan dinilai tidak beralasan, kurang wajar dan sebagainya, sehingga jika dalam hal ini tetap dilakukan komunikasi, maka akan terjadi efek bumerang dari komunikasi itu, yaitu posisi-posisi dari sikap-sikap itu malah akan makin menjauh.
Di dalam teori ini juga menjelaskan dua macam efek yang timbul akibat proses mempertimbangkan pesan yaitu efek asimilasi dan efek kontras. Efek asimilasi cenderung dapat bisa diterima ketimbang keadaan yang sebenarnya. Masyarakat yang menjadi sasaran persuasi akan menilai pesan atau pernyataan tersebut tampak sejalan dengan patokannya. Sedangkan pernyataan yang berada dalam rentang penolakan akan tampak semakin berbeda karena sebenarnya secara teori kita memperbesar perbedaan dan pada akhirnya pesan dapat ditolak dengan mudah oleh masyarakat.
Teori ini menjelaskan kepada kita tentang suatu pesan atau pernyataan diterima atau ditolak itu didasarkan atas peta kognitif kita sendiri terhadap pesan tersebut. Seseorang menerima atau menolak suatu pernyataan atau pesan-pesan tertentu, bergantung kepada keterlibatan egonya sendiri. Ketika orang menerima pesan, baik verbal ataupun nonverbal, mereka dengan segera men-judge (memperkirakan, menilai) di mana pesan harus ditempatkan dalam bagian otaknya dengan cara membandingkannya dengan pesan-pesan yang diterimanya selama ini. Teori ini juga menjelaskan tentang bagaimana individu menilai pesan-pesan yang mereka terima. Ia juga mampu memprediksi bahwa seseorang menerima atau menolak terhadap pesan-pesan yang masuk. Selain itu teori ini juga melahirkan hipotesis-hipotesis baru dan memperluas rentangan pengetahuan seseorang, termasuk kita ketika sedang menerima pesan-pesan, dan juga memiliki kekuatan terorganisir melalui pengorganisasian pengetahuan yang ada di dalam otak kita mengenai sesuatu.
Aplikasi
Melukiskan bagaimana teori pertimbangan sosial bekerja, perhatikan sebuah eksperiman menarik yang dilakukan oleh sekelompok peneliti tidak lama sesudah Oklahoma mengeluarkan sebuah hukum pelarangan pada tahun 1950-an. Para peneliti itu merekrut sejumlah orang yang sangat terlibat dalam masalah tersebut pada satu sisi atau sisi lainnya, dan sejumlah orang yang keterlibatannya dalam masalah itu sedang-sedang atau sedikit saja. Mereka menemukan bahwa mereka yang keterlibatan egonya besar dan ekstrim pendapatnya memiliki rentang penolakan yang lebih jauh lebih besar daripada mereka yang keterlibatan egonya sedang-sedang saja, dan para subyek yang sedang-sedang saja tadi memiliki rentang non komitmen yang jauh lebih besar ketimbang mereka yang pendapat ekstrim. Menariknya, ketika diberi pesan moderat yang sama, mereka yang ekstrim menilainya sebagai sesuatu yang jauh lebih ke arah sisi non pelarangan dibanding subyek-subyek lain, sebaliknya mereka lebih ”lunak” menilainya lebih mengarah pada sisi pelarangan ketimbang subyek-subyek lainnya. Dengan kata lain, kedua kelompok yang berlawanan tersebut memuat sebuah efek tentangan. Secara umum perubahan sikap yang dialami oleh mereka yang sedang-sedang saja setelah mendengar pesan tentang masalah tersebut mengalami perubahan sikap yang kira-kira dua kali lebih besar daripada mereka yang sangat terlibat dalam masalah itu.
Rentang penerimaan dan penolakan seseorang dipengaruhi oleh sebuah variabel kunci keterlibatan ego. Keterlibatan ego adalah tingkat relevansi personal dari suatu masalah. Ini adalah tingkatan sejauh mana sikap seseorang terhadap sesuatu masalah mempengaruhi konsep diri atau tingkat penting yang diberikan pada masalah itu. Sebagai contoh, anda mungkin sudah banyak membaca tentang penipisan lapisan ozon dan sudah mempercayai bahwa ini adalah sebuah masalah serius. Jika anda belum mengalami kesulitan pribadi apapun akibat masalah ini, ia mungkin tidak penting bagi anda, karena keterlibatan ego anda rendah. Di lain pihak, jika anda sudah pernah dirawat akibat kanker kulit, masalah ini akan jauh lebih melibatkan ego. Keterlibatan ego membuat perbedaan besar dalam hal bagaimana anda merespon pesan-pesan yang berhubungan dengan sebuah topik. Meskipun anda mungkin akan memiliki sebuah pendapat yang lebih ekstrim tentang topik-topik di mana ego anda terlbat, bukan selalu demikian halnya. Anda bisa mempunyai pendapat yang biasa-biasa saja dan tetap melibatkan ego
Contoh berikut semakin memperjelas kita tentang efek kontras. Anggaplah disebuah ruang eksperimen terdapat tiga buah ember. Ember pertama berisi air dingin dan ember kedua berisi air hangat, sementara ember ketiga berisi air dalam suhu normal. Seorang sukarelawan memasukan tangan kanan pada ember pertama dan tangan kiri pada ember kedua. Setelah duapuluh detik, kedua tangan tersebut dimasukkan secara bersamaan ke dalam ember ketiga. Maka perbedaan yang kontras. Tangan kanan merasa air itu panas, sementara tangan kiri merasa air itu dingin. Disini Sherif memiliki hipotesis bahwa efek kontras akan terjadi bila kita berada dalam kondisi ”panas” kemudian menerima pesan yang tidak sama dengan patokan kita yang ”panas” tersebut. Seperti pada contoh diats, bahkan pesan yang ”normal” sekalipun akan menjadi lebih ”dingin” bila diukur dengan patokan yang digunakan.





Apa yang muncul dalam benak Anda ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa macam-macam, mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit bunga 0% kartu kredit tersebut.


EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION & NON COMMITMENT

Ungkapan-ungkapan yang muncul setelah tawaran kredit bunga 0% di paragraf pertama, oleh SJT disebut sebagai respon. Ketika sebuah bujukan atau persuasif muncul, menurut Sherif respon yang akan muncul terbagi dalam tiga zona :
1.    Latitude of acceptance (zona penerimaan), dalam hal ini persuader mampu merubah sikap orang yang dibujuk
2.    Latitude of rejection (zona penolakan) jika persuasif yang disampaikan jauh berseberangan dengan persepsi penerima maka penerima tidak akan merubah sikapnya
3.    Latitude of non commitment (zona tanpa pertanyaan) kondisi tidak adanya tanggapan atau keputusan dari suatu bujukan.
Bagi Sherif, sebagai komunikator, khususnya persuader seharusnya, memahami interkorelasi dari ketiga latitude tersebut. Dengan demikian dapat dengan lebih mudah untuk mengetahui pola/struktur kebiasaan dan tingkah laku tiap-tiap personal dan tentu saja memudahkan peran kita sebagai komunikator ke depannya.

EGO INVOLVEMENT: HOW MUCH DO YOU CARE?

Jika Anda pengguna kartu kredit, seberapa penting bunga cicilan 0% bagi Anda? Pertanyaan seperti inilah yang disebut Sherif sebagai konsep ego-involvement. Ego-involvement mengacu pada tingkatan seberapa penting sebuah “tawaran” terhadap kehidupan seseorang. Ego-involvement merupakan kunci utama munculnya latitude of acceptance atau bahkan rejection. Konsep ini dilatarbelakangi dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Apakah ini hal utama bagi kita?”, “Apa kita sangat memikirkannya?”, “Apakah sudah sesuai dengan pola hidup kita?”

Ego-involvement menggambarkan kemampuan kognitif seseorang akan suatu isu tertentu. Penulis coba ungkapkan contoh lain misalkan efek rumah kaca karena lapisan ozon yang berlubang. Hal ini mungkin tidak begitu penting bagi kita karena tidak banyak menyinggung sisi kognitif dalam diri kita (low ego involvement). Lain halnya ketika yang diungkap adalah; berlubangnya lapisan ozon menyebabkan sinar UV dapat dengan mudah masuk ke bumi tanpa filter sehingga kemungkinan penyakit kanker kulit dapat dengan mudah menyerang. Isu yang kedua ini akan memunculkan tingkatan ego involvement yang lebih tinggi karena lebih menyentuh pada aspek kognitif kita tentang kepedulian terhadap diri sendiri.







JUDGING THE MESSAGE: CONTRAST & ASSIMILATION ERRORS

Sherif menyatakan bahwa kita menggunakan pola dasar pemikiran kita sebagai perbandingan ketika menerima berbagai macam tipe pesan. Dalam penilain terhadap pesan tersebut, dapat terjadi dua hal yaitu Contrast atau Assimilation. Contrast terjadi karena gangguan penerimaan informasi (distorsi persepsi) yang memicu penolakan terhadap suatu pesan/ ide. Sedangkan assimilation adalah daya tangkap yang kuat akan suatu pesan sehingga terkesan antara persuader dan si penerima terlihat saling memahami yang tentu saja berujung pada latitude of acceptance. Hal ini tentu saja bertentangan dengan error of judgment.

DISCREPANCY AND ATTITUDE CHANGE

Menilai atau mempertimbangkan suatu pesan berdasarkan dengan tingkat kedekatan dengan pola pikir kita sebagai langkah awal menuju pada perubahan perilaku inilah yang disebut dengan discrepancy.

Discrepancy yang akan memunculkan perubahan perilaku ini bisa didasari tidak hanya dari latitude of acceptance tapi juga dari latitude of rejection. Apabila dilandasi zona penolakan dapat memunculkan efek boomerang yaitu perubahan sikap yang sangat berlawanan dengan arahan pesan/ bujukan yang sudah disampaikan.

Contohnya adalah kampanye “Stop Telanjang di Depan Kamera” ketika maraknya berita tentang beredarnya foto telanjang dan video mesum baik dari kalangan public figure atau masyarakat biasa. Dalam zona penerimaan, si penerima pesan akan merubah sikapnya menuju pada penyelamatan imej dengan berhati-hati ketika berekspresi di depan kamera, jangan sampai hal tersebut menjadi foto atau video mesum. Akan menjadi efek boomerang, ketika si penerima berada pada zona penolakan, dia memiliki ego involvement yang kuat tentang ekspresi di depan kamera adalah hak asasi setiap orang sehingga kampanye tersebut justru menjadikannya inspirasi untuk bertindak sebaliknya.

EVIDENCE THAT ARGUES FOR ACCEPTANCE

Berikut merupakan bukti-bukti pesan yang mendapat latitude of acceptance dari penerimanya:

1. A highly credible speaker can stretch the hearer’s latitude of acceptance
Seperti mantan presiden USA: Al Gore ketika mensosialisasikan masalah isu global warming, hal ini banyak mempengaruhi perilaku penduduk dunia (mengamini sosialisasinya) melihat kredibilitas dia dulu ketika memimpin USA.
2. Ambiguity can often serve better than clarity
Contohnya adalah salah satu kata-kata dari Bung Karno ketika mendapati intimidasi terhadap wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia: “Ganyang Malaysia” kata tersebut artinya tidak hanya bisa dijelaskan dalam 1 arti saja. Tapi rakyat menyukainya dan justru menjadi bagian dari sejarah hingga sekarang.
3. There are some people who are dogmatic on every issue
Contohnya adalah apa yang dilakukan Rhonda Byrne, penulis buku The Secret yang mengemukakan tentang kekuatan kata-kata.





Contoh kasus
Ketika terjadi kerusuhan sosial tahun 1998 waktu itu terjadi kerusuhan dimana-mana dan saya bekerja di salah satu hotel di bilangan Jalan sudirman saya mendapatkan pesan-pesan baik dari televisi radio ataupun radio bahkan melihat langsung kerusuhan terjadi dimana-mana dan saya berasumsi bahwa kerusuhan di mana-mana dan pasti tidak ada kendaraan umum yang beroperasi dan sebaiknya tidak berangkat kerja karena situasi dan kondisi saat itu. (di sini saya memasuki Lattitute rentang penerimaan).
Tetapi saya tetap berangkat kerja dan berjalan ke jalan raya untuk mencoba kemungkinan ada kendaraan umum yang tetap beroperasi, karena biar bagaimanapun mereka juga butuh makan dan minum dan mereka tetap beroperasi untuk mencari uang dan mencukupi kebutuhan sendiri-sendiri. Singkat kata saya terus berjalan dan akhirnya menemukan kendaraan umum dan bisa sampai ke tempat kerja dan melihat begitu banyak orang berkumpul di hotel karena mereka takut dengan kondisi yang ada dan mereka berlindung di hotel. (di sini terjadi rentang penolakan) secara umum dari informasi dan data yang ada di artikan pasti tidak ada kendaraan yang ada tapi kenyataanya ada juga.
Selanjutnya saya sampai kantor dan melihat bahwa kondisi jakarta sebagian terasa demikian mencekam dan terjadi huru-hara yang terus berlanjut. Yang akhirnya banyak karyawan hotel yang tidak masuk dengan alasan tidak bisa berangkat karena tidak ada kendaraan juga karena takut terjadi sesuatu di jalan karena sudah demikian brutalnya hal hal terjadi. Tidak hanya harta benda yang di jarah oleh orang-orang tetapi sudah ke nyawa pembakaran gedung-gedung dan jelas-jelas ada orang di dalamya bukti nyata bahwa nyawa juga terancam. Dan saya disuruh sama pimpinan saya untuk tidak pulang karena memang kekurangan karyawan untuk bekerja karena sebagian besar tidak masuk kerja saya di suruh masuk dengan hitungan lembur. Di sini saya Cuma diam sahaja dan saya merasa pasti sebenarnya banyak hal yang bisa di lakukan buktinya saya walaupun kerusuhan terjadi masih bisa datang ke kantor di sini saya memasuki Lattitude tanpa pertanyaan.
Saya akhirnya tetap bekerja dan saya menginap di hotel dan sudah disediakan kamar khusus bagi karyawan yang tidak pulang karena mesti menggantikan karyawan lain yang tidak masuk hingga operasional hotel bisa terus berjalan walaupun tidak bisa berjalan normal seperti biasanya.