Teori &Pengertian
Teori ini dikembangkan oleh Muzafer Sherif, seorang psikolog dari Oklahoma
University AS (Barker, 1987). Secara ringkas teori ini menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang
terhadap objek sosial dan isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan (judgement) yang terjadi dalam diri orang
tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi. Proses ”mempertimbangkan” isu atau objek
sosial tersebut menurut Sherif berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang dimiliki seseorang. Kerangka rujukan inilah
yang pada gilirannya menjadi ”jangkar” untuk menentukan bagaimana seseorang memposisikan suatu pesan persuasif yang diterimanya. Lebih jauh Sherif
menegaskan bahwa tindakan memposisikan dan menyortir pesan yang
dilakukan oleh alam bawah sadar kita terjadi sesaat setelah proses persepsi. Disini
kita menimbang setiap gagasan baru yang menerpa kita dengan cara
membandingkannya dengan sudut pandang kita saat itu.
Secara
ringkas teori ini menyatakan bahwa perubahan sikap seseorang terhadap objek
sosial atau isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan yang terjadi dalam
diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi. Proses
mempertimbangkan isu atau objek sosial tersebut berpatokan pada kerangka
rujukan yang dimiliki seseorang. Kerangka inilah yang menjadi rujukan bagaimana
seseorang memposisikan dan menyortir pesan yang diterima dan membandingkannya dengan sudut
pandang yang rasional.
Menurut Muzafer Sherif ada 3 rujukan yang digunakan dalam
merespons suatu stimulus yang dihadapi, ketiganya merupakan suatu hal yang
terkait :
1. Latitude of acceptance yang terdiri dari pendapat yang masih dapat
diterima dan
ditoleransi
Proses pertimbangan di atas menurut Sherif & Hovland (1961) berlaku
baik untuk pertimbangan fisik (misalnya; berat) maupun pengukuran sikap.
Walaupun demikian ada dua perbedaan antara pertimbangan terhadap situasi fisik yang
bersifat obyektif dengan sikap. Dalam sikap, individu sudah membawa
klasifikasinya sendiri dalam menilai suatu obyek dan ini mempengaruhi
penerimaan atau penolakan individu terhadap obyek tersebut. Kedua, pertimbangan
sosial (sikap) berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lain, padahal
dalam pertimbangan fisik tidak terdapat variasi yang terlalu besar. Perbedaan-perbedaan atau variasi antara individu ini mendorong timbulnya
konsep-konsep tentang garis-garis lintang (latitude),
Garis lintang penerimaan (latitude of
acceptance) adalah rangkaian posisi sikap diterima atau ditolerir oleh
individu. Garis lintang penolakan (latitude
of rejection) adalah rangkaian posisi sikap yang tidak dapat diterima oleh
individu. Garis lintang ketidakterlibatan (latitude
of noncommitment) adalah posisi-posisi yang tidak termasuk dalam dua garis
lintang yang pertama. Jadi individu tidak menerima, tetapi juta tidak menolak,
acuh tak acuh. Interaksi antara garis-garis lintang inilah yang akan menentukan
sikap individu terhadap pernyataan-pernyataan tertentu dalam situasi tertentu.
Kalau pernyataan itu jatuh pada garis lintang penerimaan, maka individu akan
setuku dengan pernyataan itu. Jika pernyataan itu jatuh ke garis lintang
penolakan, individu tersebut akan tidak menyetujuinya
2. Latitude of rejection yang mencakup gagasan yang ditolak
karena tidak rasional
Jika seseorang individu melibatkan dirinya sendiri dalam situasi yang
dinilainya sendiri, maka ia akan menjadikan dirinya sendiri sebagai patokan.
Hanya hal-hal yang dekat dengan posisinya mau diterimanya. Makin terlibat
individu itu, maka ambang penerimaannya makin tinggi dan makin sedikit hal-hal
yang mau diterimanya. Asimilasi jadi makin kurang. Sebaliknya, ambang penolakan
makin rendah, sehingga makin banyak hal-hal yang tidak bisa diterimanya. Hal
ini makin terasa jika individu diperbolehkan menggunakan patokan-patokannya
sendiri seberapa banyak pun dia anggap perlu.
3. Latitude of no commitment yang terdiri dari pendapat
atau pesan persuasive yang tidak kita tolak dan
tidak kita terima
Komunikasi, menurut Sherif & Hovland, bisa mendekatkan sikap individu
dengan sikap-sikap orang lain, tetapi bisa juga malah makin menjauhkannya. Hal
ini tergantung dari posisi awal individu tersebut terhadap posisi
individu-individu lain. Jika posisi awal mereka saling berdekatan, komunikasi
akan lebih memperjelas persamaan-persamaan antara mereka dan dekatnya posisi
mereka sehinga terjadilah pendekatan-pendekatan. Tetapi sebaliknya, jika posisi
awal sudah saling berjauhan, maka komunikasi malah akan mempertegas perbedaan
dan posisi mereka akan saling menjauh. Dengan perkataan lain, jika seseorang
terlibat dalam situasi isu, maka posisinya sendiri akan dijadikannya patokan.
Terhadap sikap-sikap yang tidak jauh dari posisinya sendiri ia akan menilai ;
cukup beralasan, dapat dimengerti dan sebagainya. Dan suatu komunikasi dapat menggeser posisinya mendekati posisi-posisi lain
tersebut. Sebalinya, posisi-posisi yang jauh akan dinilai tidak beralasan,
kurang wajar dan sebagainya, sehingga jika dalam hal ini tetap dilakukan
komunikasi, maka akan terjadi efek bumerang dari komunikasi itu, yaitu
posisi-posisi dari sikap-sikap itu malah akan makin menjauh.
Di dalam teori ini
juga menjelaskan dua macam efek yang timbul akibat proses mempertimbangkan
pesan yaitu efek asimilasi dan efek kontras. Efek asimilasi cenderung dapat
bisa diterima ketimbang keadaan yang sebenarnya. Masyarakat yang menjadi
sasaran persuasi akan menilai pesan atau pernyataan tersebut tampak sejalan
dengan patokannya. Sedangkan pernyataan yang berada dalam rentang penolakan
akan tampak semakin berbeda karena sebenarnya secara teori kita memperbesar
perbedaan dan pada akhirnya pesan dapat ditolak dengan mudah oleh masyarakat.
Teori ini menjelaskan kepada kita
tentang suatu pesan atau pernyataan diterima atau ditolak itu didasarkan atas peta kognitif kita sendiri terhadap pesan tersebut.
Seseorang menerima atau menolak suatu pernyataan atau pesan-pesan tertentu,
bergantung kepada keterlibatan egonya sendiri. Ketika orang
menerima pesan, baik verbal ataupun nonverbal, mereka dengan segera men-judge
(memperkirakan, menilai) di mana pesan harus ditempatkan dalam bagian otaknya
dengan cara membandingkannya dengan pesan-pesan yang diterimanya selama ini. Teori ini juga menjelaskan tentang bagaimana individu menilai pesan-pesan
yang mereka terima. Ia juga mampu memprediksi bahwa seseorang menerima atau
menolak terhadap pesan-pesan yang masuk. Selain itu teori ini juga melahirkan
hipotesis-hipotesis baru dan memperluas rentangan pengetahuan seseorang,
termasuk kita ketika sedang menerima pesan-pesan, dan juga memiliki kekuatan
terorganisir melalui pengorganisasian pengetahuan yang ada di dalam otak kita
mengenai sesuatu.
Aplikasi
Melukiskan bagaimana teori
pertimbangan sosial bekerja, perhatikan sebuah eksperiman menarik yang
dilakukan oleh sekelompok peneliti tidak lama sesudah Oklahoma mengeluarkan
sebuah hukum pelarangan pada tahun 1950-an. Para peneliti itu merekrut sejumlah
orang yang sangat terlibat dalam masalah tersebut pada satu sisi atau sisi
lainnya, dan sejumlah orang yang keterlibatannya dalam masalah itu
sedang-sedang atau sedikit saja. Mereka menemukan bahwa mereka yang
keterlibatan egonya besar dan ekstrim pendapatnya memiliki rentang penolakan
yang lebih jauh lebih besar daripada mereka yang keterlibatan egonya
sedang-sedang saja, dan para subyek yang sedang-sedang saja tadi memiliki
rentang non komitmen yang jauh lebih besar ketimbang mereka yang pendapat
ekstrim. Menariknya, ketika diberi pesan moderat yang sama, mereka yang ekstrim
menilainya sebagai sesuatu yang jauh lebih ke arah sisi non pelarangan
dibanding subyek-subyek lain, sebaliknya mereka lebih ”lunak” menilainya lebih
mengarah pada sisi pelarangan ketimbang subyek-subyek lainnya. Dengan kata
lain, kedua kelompok yang berlawanan tersebut memuat sebuah efek tentangan.
Secara umum perubahan sikap yang dialami oleh mereka yang sedang-sedang saja
setelah mendengar pesan tentang masalah tersebut mengalami perubahan sikap yang
kira-kira dua kali lebih besar daripada mereka yang sangat terlibat dalam
masalah itu.
Rentang penerimaan dan penolakan
seseorang dipengaruhi oleh sebuah variabel kunci keterlibatan ego. Keterlibatan
ego adalah tingkat relevansi personal dari suatu masalah. Ini adalah tingkatan
sejauh mana sikap seseorang terhadap sesuatu masalah mempengaruhi konsep diri atau tingkat penting yang
diberikan pada masalah itu. Sebagai contoh, anda mungkin sudah banyak membaca
tentang penipisan lapisan ozon dan sudah mempercayai bahwa ini adalah sebuah
masalah serius. Jika anda belum mengalami kesulitan pribadi apapun akibat
masalah ini, ia mungkin tidak penting bagi anda, karena keterlibatan ego anda
rendah. Di lain pihak, jika anda sudah pernah dirawat akibat kanker kulit,
masalah ini akan jauh lebih melibatkan ego. Keterlibatan ego membuat perbedaan
besar dalam hal bagaimana anda merespon pesan-pesan yang berhubungan dengan
sebuah topik. Meskipun anda mungkin akan memiliki sebuah pendapat yang lebih
ekstrim tentang topik-topik
di mana ego anda terlbat, bukan selalu demikian halnya. Anda bisa mempunyai
pendapat yang biasa-biasa saja dan tetap melibatkan ego
Contoh berikut semakin memperjelas
kita tentang efek kontras. Anggaplah disebuah ruang eksperimen terdapat tiga
buah ember. Ember pertama berisi air dingin dan ember kedua berisi air hangat,
sementara ember ketiga berisi air dalam suhu normal. Seorang sukarelawan memasukan
tangan kanan pada ember pertama dan tangan kiri pada ember kedua. Setelah
duapuluh detik, kedua tangan tersebut dimasukkan secara bersamaan ke dalam
ember ketiga. Maka perbedaan yang kontras. Tangan kanan merasa air itu panas,
sementara tangan kiri merasa air itu dingin. Disini Sherif memiliki hipotesis
bahwa efek kontras akan terjadi bila kita berada dalam kondisi ”panas” kemudian
menerima pesan yang tidak sama dengan patokan kita yang ”panas” tersebut.
Seperti pada contoh diats, bahkan pesan yang ”normal” sekalipun akan menjadi
lebih ”dingin” bila diukur dengan patokan yang digunakan.
Apa yang muncul dalam benak Anda
ketika mendapatkan tawaran kredit 0% dari sebuah produk kartu kredit? Bisa
macam-macam,
mulai dari muncul pertanyaan “Do I need this?”, nanti kalau terlambat
pembayaran bunganya akan membumbung, kok bisa bunga 0%? Ah jadi curiga sama
banknya nih, bagus dan menarik (sekedar pernyataan begitu saja) atau malah “Aku
mau!”. Dari beberapa frasa tersebut, mana yang menurut Anda paling sesuai
dengan diri Anda? Dengan begitu, dapat diketahui mengenai Teori Penilaian
Sosial (Social Judgment Theory) yang muncul dari perspektif Anda tentang kredit
bunga 0% kartu kredit tersebut.
EGO LATITUDES: ACCEPTANCE, REJECTION
& NON COMMITMENT
Ungkapan-ungkapan yang muncul setelah tawaran
kredit bunga 0% di paragraf pertama, oleh SJT disebut sebagai respon. Ketika
sebuah bujukan atau persuasif muncul, menurut Sherif respon yang akan muncul
terbagi dalam tiga zona :
1.
Latitude of acceptance
(zona penerimaan), dalam hal ini persuader mampu merubah sikap orang yang dibujuk
2.
Latitude of rejection
(zona penolakan) jika persuasif yang disampaikan jauh berseberangan dengan
persepsi penerima maka penerima tidak akan merubah sikapnya
3.
Latitude of non commitment
(zona tanpa pertanyaan) kondisi tidak adanya tanggapan atau keputusan dari
suatu bujukan.
Bagi Sherif, sebagai komunikator, khususnya persuader seharusnya, memahami interkorelasi dari ketiga
latitude tersebut. Dengan demikian dapat dengan lebih mudah untuk mengetahui
pola/struktur kebiasaan dan tingkah laku tiap-tiap personal dan tentu saja
memudahkan peran kita sebagai komunikator ke depannya.
EGO INVOLVEMENT: HOW MUCH DO YOU
CARE?
Jika Anda pengguna kartu kredit,
seberapa penting bunga cicilan 0% bagi Anda? Pertanyaan seperti inilah yang
disebut Sherif sebagai konsep ego-involvement. Ego-involvement mengacu pada
tingkatan seberapa penting sebuah “tawaran” terhadap kehidupan seseorang.
Ego-involvement merupakan kunci utama munculnya latitude of acceptance atau
bahkan rejection. Konsep ini dilatarbelakangi dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Apakah ini hal utama bagi kita?”,
“Apa kita sangat memikirkannya?”, “Apakah sudah sesuai dengan pola hidup kita?”
Ego-involvement menggambarkan kemampuan
kognitif seseorang akan suatu isu tertentu. Penulis coba ungkapkan contoh lain
misalkan efek rumah kaca karena lapisan ozon yang berlubang. Hal ini mungkin
tidak begitu penting bagi kita karena tidak banyak menyinggung sisi kognitif
dalam diri kita (low ego involvement).
Lain halnya ketika yang diungkap adalah; berlubangnya lapisan ozon menyebabkan
sinar UV dapat dengan mudah masuk ke bumi tanpa filter sehingga kemungkinan
penyakit kanker kulit dapat dengan mudah menyerang. Isu yang kedua ini akan memunculkan
tingkatan ego involvement yang lebih tinggi karena lebih menyentuh pada aspek
kognitif kita tentang kepedulian terhadap diri sendiri.
JUDGING THE MESSAGE: CONTRAST &
ASSIMILATION ERRORS
Sherif menyatakan bahwa kita
menggunakan pola dasar pemikiran kita sebagai perbandingan ketika menerima
berbagai macam tipe pesan. Dalam penilain terhadap pesan tersebut, dapat
terjadi dua hal yaitu Contrast atau Assimilation. Contrast terjadi karena
gangguan penerimaan informasi (distorsi persepsi) yang memicu penolakan
terhadap suatu pesan/ ide. Sedangkan assimilation adalah daya tangkap yang kuat
akan suatu pesan sehingga terkesan antara persuader dan si penerima terlihat
saling memahami yang tentu saja berujung pada latitude of acceptance. Hal ini
tentu saja bertentangan dengan error of judgment.
DISCREPANCY AND ATTITUDE CHANGE
Menilai atau mempertimbangkan suatu
pesan berdasarkan dengan tingkat kedekatan dengan pola pikir kita sebagai
langkah awal menuju pada perubahan perilaku inilah yang disebut dengan discrepancy.
Discrepancy yang akan memunculkan
perubahan perilaku ini bisa didasari tidak hanya dari latitude of acceptance
tapi juga dari latitude of rejection. Apabila dilandasi zona penolakan dapat
memunculkan efek boomerang yaitu perubahan sikap yang sangat berlawanan dengan
arahan pesan/ bujukan yang sudah disampaikan.
Contohnya adalah kampanye “Stop
Telanjang di Depan Kamera” ketika maraknya berita tentang beredarnya foto
telanjang dan video mesum baik dari kalangan public figure atau masyarakat
biasa. Dalam zona penerimaan, si penerima pesan akan merubah sikapnya menuju
pada penyelamatan imej dengan berhati-hati
ketika berekspresi di depan kamera, jangan sampai hal tersebut menjadi foto
atau video mesum. Akan menjadi efek boomerang, ketika si penerima berada pada
zona penolakan, dia memiliki ego involvement yang kuat tentang ekspresi di
depan kamera adalah hak asasi setiap orang sehingga kampanye tersebut justru
menjadikannya inspirasi untuk bertindak sebaliknya.
EVIDENCE THAT ARGUES FOR ACCEPTANCE
Berikut merupakan bukti-bukti pesan yang mendapat latitude
of acceptance dari penerimanya:
1. A highly credible speaker can
stretch the hearer’s latitude of acceptance
Seperti mantan presiden USA: Al Gore
ketika mensosialisasikan masalah isu global warming, hal ini banyak
mempengaruhi perilaku penduduk dunia (mengamini sosialisasinya) melihat
kredibilitas dia dulu ketika memimpin USA.
2. Ambiguity can often serve better
than clarity
Contohnya adalah salah satu kata-kata dari Bung Karno ketika mendapati
intimidasi terhadap wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Malaysia: “Ganyang
Malaysia” kata tersebut artinya tidak hanya bisa dijelaskan dalam 1 arti saja.
Tapi rakyat menyukainya dan justru menjadi bagian dari sejarah hingga sekarang.
3. There are some people who are
dogmatic on every issue
Contohnya adalah apa yang dilakukan
Rhonda Byrne, penulis buku The Secret yang mengemukakan tentang kekuatan kata-kata.
Contoh kasus
Ketika terjadi kerusuhan sosial
tahun 1998 waktu itu terjadi kerusuhan dimana-mana dan saya bekerja di salah satu hotel di bilangan Jalan sudirman saya
mendapatkan pesan-pesan baik dari televisi radio ataupun radio bahkan melihat langsung
kerusuhan terjadi dimana-mana dan saya berasumsi bahwa kerusuhan di mana-mana
dan pasti tidak ada kendaraan umum yang beroperasi dan sebaiknya tidak
berangkat kerja karena situasi dan kondisi saat itu. (di sini saya memasuki Lattitute
rentang penerimaan).
Tetapi saya tetap berangkat kerja
dan berjalan ke jalan raya untuk mencoba kemungkinan ada kendaraan umum yang
tetap beroperasi, karena biar bagaimanapun mereka juga butuh makan dan minum
dan mereka tetap beroperasi untuk mencari uang dan mencukupi kebutuhan sendiri-sendiri.
Singkat kata saya terus berjalan dan akhirnya menemukan
kendaraan umum dan bisa sampai ke tempat kerja dan melihat begitu banyak orang
berkumpul di hotel karena mereka takut dengan kondisi yang ada dan mereka
berlindung di hotel. (di sini terjadi rentang
penolakan) secara umum dari informasi dan data yang ada di artikan pasti tidak
ada kendaraan yang ada tapi kenyataanya ada juga.
Selanjutnya saya sampai kantor dan
melihat bahwa kondisi jakarta sebagian terasa demikian mencekam dan terjadi
huru-hara yang terus berlanjut. Yang akhirnya banyak karyawan hotel yang tidak
masuk dengan alasan tidak bisa berangkat karena tidak ada kendaraan juga karena
takut terjadi sesuatu di jalan karena sudah demikian brutalnya hal hal terjadi.
Tidak hanya harta benda yang di jarah oleh orang-orang tetapi sudah ke nyawa pembakaran gedung-gedung dan jelas-jelas ada orang di dalamya bukti nyata bahwa nyawa juga terancam. Dan saya
disuruh sama pimpinan saya untuk tidak pulang karena memang kekurangan karyawan
untuk bekerja karena sebagian besar tidak masuk kerja saya di suruh masuk
dengan hitungan lembur. Di
sini saya Cuma diam sahaja dan saya merasa pasti sebenarnya banyak hal yang
bisa di lakukan buktinya saya walaupun kerusuhan terjadi masih bisa datang ke
kantor di sini saya memasuki Lattitude tanpa pertanyaan.
Saya akhirnya tetap bekerja dan saya
menginap di hotel dan sudah disediakan kamar khusus bagi karyawan yang tidak
pulang karena mesti menggantikan karyawan lain yang tidak masuk hingga
operasional hotel bisa terus berjalan walaupun tidak bisa berjalan normal
seperti biasanya.